Pages

Jumat, 18 Juni 2010

DIALOG IMAJINER JOKO KIRMANTO DENGAN UBAY

Di suatu pagi, di rumah Joko Kirmanto, saya berusaha mengamati dengan teliti. Rumahnya yang boleh dibilang sangat mewah sebagai Menteri PU, sungguh memperjelas perbedaan antara pembantu presiden dengan tempat tinggal saya. Maka tidak heran bila kemudian pikiran saya langsung tertuju dengan membandingkan arsitektur antara rumah saya dengan rumahnya.

Rumah Jokir (Joko Kirmanto), terbilang komplit, dalam arti semua yang dibutuhkan sehari-hari ada bahkan persediaan untuk sebulan pun lebih dari ada. Saya bisa membayangkan, bagaimana Jokir kalau setiap pagi hari dengan rutinitasnya sebagai Menteri PU, terjamin; minum susu, baca koran, menu sarapannya jelas, sopir ada, mobil banyak, kemanapun hendak pergi tidak perlu menunggu bus, angkutan kota, ojek atau becak dan sebagainya.

Ah, pikiran itu langsung terbuang jauh karena Jokir sudah berada di depan pintu, hendak pergi ke kantor rupanya. Langsung saya cegat dan saya meminta waktu barang 10 menit untuk ngobrol. Jokir rupanya pada hari itu tidak begitu buru-buru dengan jadwal kantor. Buktinya, ia langsung mengiyakan permohonan waktu yang diajukan saya. Kami segera menuju ruang tamu yang luasnya hampir tiga kali lipat kamar saya yang berukuran 4x3 meter persegi.

“anda dari mana…?” sapanya memulai. “saya Ubay, dari Cirebon pak, tepatnya pesantren Babakan Ciwaringin”. Jokir langsung bisa menebak tema kelanjutan pembicaraan yang belum saya tuntaskan. Bukan karena Jokir seorang paranormal atau ahli telepati atau seorang dukun PU, akan tetapi itu bisa dipahami. Sebabnya, pesantren Babakan yang dalam kurun 13 tahun bahkan 3 tahun belakangan hingga kini sedang banyak berurusan dengan Departemen yang ia pimpin.

Dengan perubahan wajah yang tidak sefamiliar 2 menit lalu, Jokir melanjutkan basa-basinya. “oya, gimana perkembangan Tol itu? Apa sekarang para kiai sudah kelelahan, santri-santrinya kok sekarang tidak disuruh turun jalan lagi…” Tentu saja pertanyaan Jokir membuat saya agak mangkel. Bagaimana tidak, dengan posisi duduk, kaki disilangkan sementara ia berusaha membaca koran yang sebetulnya pagi-pagi sudah ia baca berulang-ulang, tidak memperhatikan saya layaknya orang ngobrol. Wajah saya berhadapan dengan koran, sementara orang yang saya ajak ngobrol bersembunyi di balik koran itu dengan suara yang tertangkap oleh telinga saya terkesan mencibir.

“kalau kiai Makhtum masih konsisten menolak pembangunan Tol yang rencananya melewati area pesantren dan kuburan orang-orang tua kami pak, kecuali beberapa Kiai dan yang ngaku-ngaku kiai yang bapak jadikan kambing hitam untuk memecah-belah kami”. Seketika Jokir langsung menutup koran mendengar kalimat yang baru saja saya lontarkan. “maunya apa sih kiai Makhtum itu, kiai lain setuju kok. Memangnya kiai Makhtum mau uang berapa?” suaranya meninggi. Saya pun tidak mau kalah menanggapi komentarnya terhadap kiai Makhtum. “ini bukan soal uang pak, beberapa kali kiai Makhtum ditawari uang milyaran rupiah pun beliau tetap menolak. Ini soal amanat orang-orang tua kami dulu, bahwa tanah kami hanya diperuntukkan buat pengembangan pesantren, bukan untuk dijual pak apalagi dibuat jalan Tol.”

“alah… alasan yang tidak masuk akal. Justru jalan Tol itu lebih bermanfaat ketimbang pesantren. Apa sih yang menguntungkan dari pesantren?” Toh pesantren sudah kami bantu, Menteri Agama sudah sering memberikan bantuan ke pesantren-pesantren. Cobalah bisa memahami kalau kepentingan umum itu mesti diutamakan, ini kan proyek pemerintah !.” Dengan intonasi tinggi Jokir menatap saya, persis seekor singa yang hendak menerkam.

“banyak yang belum bisa diterima nalar pak, soal legalitas proyek, soal hukumnya, soal implementasi dari makna kepentingan umum dan lain-lain. Bapak sendiri menutup pintu dialog dengan pesantren, beberapa kali bertemu kiai Makhtum cuma berjanji dan janji lagi mau memindahkan jalur Tol, nyatanya bapak sampai sekarang belum juga menepatinya. Kemudian banyak pertanyaan pesantren yang sama sekali belum dijawab oleh bapak sebagai Menteri PU terkait rencana pembangunan itu. Apa tidak takut dosa pak?”

“apa? Dosa? Hahahaa….kamu ini bicara dosa kok dengan saya. Kalau bicara soal perpindahan jalur Tol itu kan cuma meladeni kiai saja biar tidak terlalu ngotot. Sudahlah, pesantren itu tahu apa sih… pokoknya selagi saya masih dipercaya oleh SBY menjadi Menteri PU, maka tidak ada yang mustahil bagi saya untuk mengerjakan proyek apapun. Artinya, saya akan menggunakan segala macam cara untuk bisa memenuhi harapan pak SBY” Jokir rupanya kurang sabar berbicara dengan saya, bahasa tubuhnya memberikan makna sendiri. Ia menegakkan badannya dan berkali-kali melihat jam tangan dan menoleh ke arah pintu depan.

“sudah ya…saya mau berangkat ke kantor. Ada urusan yang lebih penting ketimbang membicarakan pesantren dan tetek bengeknya. Sampaikan kepada kiai Makhtum kalau proyek Tol Cikampek Palimanan itu tidak dapat dirubah oleh keputusan apapun, apalagi tuntutan pesantren.” Jokir langsung berdiri dan berusaha “mengusir” saya dengan bahasa tubuhnya yang lebih tegas.

Saya pun berusaha memanfaatkan waktu yang di ujung tanduk ini, sembari keluar beriringan, saya ngotot menambal pembicaraan yang sama sekali belum tuntas. “tapi pak, kapan bapak punya waktu lagi? Syukur-syukur bapak secara terbuka mau berdialog dengan seluruh warga pesantren termasuk kiai-kiainya. Biar semuanya jelas, transparan dan mashlahat. Pesantren itu tidak menolak pembangunan jalan Tol pak, tapi menolak pembangunan jalan Tol bila melewati pesantren dan kuburan orang tua kami…”

“sudahlah, tidak usah banyak menuntut. Pesantren itu seharusnya mendukung kebijakan pemerintah” Jokir berusaha menyudahi pembicaraan dan cepat-cepat membuka pintu mobil dinasnya. Jendela mobil itu menghalangi saya melucuti wajah Jokir yang berlalu, mungkin di dalam sana ia tersenyum penuh kebanggaan. Bangga bila pagi itu ia telah mengalahkan satu orang bernama rakyat dan menuntaskan pembicaraannya secara kilat.

Dasar Jokir keparat, umpat saya dalam hati sembari menyulut sebatang rokok kretek. Inilah yang bernama kemenangan, kemenangan bisa mengumpat para begundal berdasi biarpun dalam hati. Saya berusaha menghibur diri, sambil berjalan pulang saya tidak pernah berhenti mencaci-maki sang Menteri PU itu; Jokir keparat, Jokir biadab, Jokir kentir, Jokir kunyuk, Jokiiiirr Jokir.. akhirnya saya lelah sendiri. Hmmm…mengumpat barangkali akan terasa lebih nikmat bila sambil nunggu Bajaj lewat.

Jakarta, 31052010.

Kamis, 05 Februari 2009

SEJAK KAU TIBA DI SINI

Sejak kau tiba di sini, memanggil-manggil nama mas Wahabi
Keharmonisan tak ada lagi di bumi pertiwi
Dengan cara yang kau sebut Islami
Semua tradisi kami, perlahan-lahan kamu kebiri
Dan di balik keindahan ayat-ayat suci
Semua langkahmu dianggap polah surgawi
Bahkan, ketika kami bertawasul kepada Nabi
Kami harus rela untuk dicaci-maki
Sejak menerimamu di sini, kau malah arogan sekali
Mentang-mentang baru bisa mendalil dengan Fasih
Semua Musholla dan Masjid, kau coba kuasai
Entah apalagi yang belum kau siasati
Sampai kuburan pun kau komentari
Kamu tahu, perbedaan pendapat itu rahmat Illahi
Tapi baru beda persepsi, kamu langsung memusuhi
Coba ajak dulu mereka berdiskusi
Jangan seenaknya main hakim sendiri
Gayamu laksana Islam sejati
Golongan lain kamu anggap Jahily
Hingga semua orang kamu kibuli
Lantas, sampai kapan negara ini bisa mandiri
Ambisimu menguasai NKRI
Dengan membentuk partai berideologi
Tapi kenyataan Bhineka Tunggal Ika di sini, tak mau diakui
Kamu belum merasakan susahnya mendirikan negara ini
Tapi dengan seenaknya, kamu rampas jerih-payah kami
Coba, apa yang telah kamu lakukan untuk negeri ini
Belum apa-apa, pengennya ngatur sendiri
Kalau mau punya negara sendiri, sana, jangan ngerecoki di sini
Indonesia milik bersama, bukan milik keluarga mas Wahabi
Sejak kau hidup di sini, semua orang kamu curigai
Sampai-sampai, semuanya diwajibkan memakai baju putih


Baequni Mohammad Haririe
Cirebon, 2008

Kamis, 29 Januari 2009

AKU DAN WAJAH ITU

sejauh apapun aku berlari, sepertinya wajah itu tak pernah ada
sebab ingatanku bercabang dan melayang-layang
sama-sama terbang layaknya layang-layang
tali yang kupakai, tak pernah terulur
kalaupun mengendur, ia hanya mendesah
tak lama kemudian ia pasrah
sepasrah keringatku yang menderas ke tanah

aku dan wajah itu seperti bimbang
menimbang-nimbang sebuah harapan di depan mata
tapi semuanya tak pernah ada, sama persis dengan wajah itu
yang kembali menghilang sekedip mata
ketika pelarianku terhenti oleh suara yang menyapa
di perempatan sebuah gang

aku dan wajah itu tak pernah lagi ada

Sabtu, 20 Desember 2008

ada yang tertinggal pada punggung anak muda itu
sesuatu yang mahaberat, sehingga ia harus menguras keringat
menjadikannya intan-intan yang sekarat
sama dengan gontai tubuhnya
meliuk-liuk di tengah jalan yang ramai
oleh sorak-sorai demonstran
mengacungkan keadilan di tengah kepalan
nurani dan harga diri yang hampir mati
kini, ia harus seorang diri
berteriak di ujung belantara
sembari menenteng sejarah
tentang perjuangan suci
yang hendak ia lakoni

mahasuci...mahakuat...mahakaya
mengikutinya atau mengawasinya?